16 Jan
(Only in Bahasa) 23 orang ibu-ibu pelaku usaha tenun Pagatan antusias mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh narasumber dari tim Puslitbang Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Mereka sedang mengikuti kegiatan pelatihan “Pemanfaatan Kulit Kayu Akasia Untuk Pewarna Kain” yang dilaksanakan pada 2 November 2017 di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Berbicara tentang tenun Pagatan tentu tidak bisa lepas dari budaya Bugis yang sangat kental dengan dalam setiap motifnya. Motif “Bombang” selalu muncul di bagian pinggir kain. “Bombang” dalam bahasa Indonesia adalah Gelombang merupakan wujud simbol kedekatan suku Bugis dengan laut dan identitas suku Bugis sebagai bangsa petualang.
Dalam tenun Pagatan juga, bisa dilihat wujud akulturasi budaya karena setelah motif “Bombang” akan disambung dengan motif “Gigi Haruan” yang merupakan kekhasan Banjar. Motif utama dalam tenun Pagatan diisi dengan perahu, ikan, bunga kelapa dan beberapa motif modifikasi.
Suryani, pemilik usaha “Rumah Tenun Pagatan” menjelaskan, usahanya memiliki 7 alat tenun bukan mesin (ATBM). Dalam 1 hari rata-rata pekerja mampu menghasilkan 3 meter kain tenun dengan upah sebesar Rp. 20.000/meter. Salah satu kendala yang
dihadapi adalah ketiadaan katalog produk. Suryani menceritakan pengalamannya ketika mengikuti pameran di Jakarta. “saya kesulitan menjelaskan produk kepada calon pembeli dari negara asing.”
Narasumber menjelaskan tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan tanin akasia. Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein. Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan mudah digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali, dan layar agar lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan perekat.
Guna mendapatkan tanin akasia, kulit kayu akasia yang sudah dipotong dalam ukuran kecil, harus dalam kondisi kering, kemudian direbus dalam waktu 3-4 jam. Untuk dijadikan bahan pewarna kain ataupun benang, tanin akasia perlu dicampur dengan bahan pengikat warna. Bahan pengikat yang dapat digunakan antara lain tunjung, tohor ataupun tawas.
Perbedaaan bahan pengikat yang digunakan akan menghasilkan perbedaan warna kain atau benang. Latar belakang sebagai pelaku
usaha membuat ibu-ibu tersebut tidak sabar untuk segera mempraktekkan langsung tanin akasia yang tersedia dan melihat bagaimana proses pencampuran serta warna yang dihasilkan.
Setelah melihat warna yang dihasilkan, sebagian pengrajin tenun Pagatan memberikan komentar, warna kain yang dihasilkan tidak secerah jika menggunakan pewarna sintesis serta kurang sesuai dengan selera pasar yang lebih menyukai warna-warna cerah.
Menanggapi hal tersebut, dijelaskan bahwa pewarna alami memang menghasilkan warna yang tidak secerah pewarna sintesis bahkan cenderung kusam. Akan tetapi produk yang menggunakan pewarna alam memiliki keunggulan karena memiliki harga jual yang lebih tinggi. Tantangan terbesar tentu saja adalah menciptakan produk yang diterima oleh pasar.
Perlu strategi sebagai tindak lanjut dari pelatihan pemanfaatan kulit akasia ini agar tidak hanya sekedar penyebar luasan
informasi saja. Beberapa pilihan strategi pendampingan yang dapat dilakukan antara lain pengemasan produk, pembuatan desain kain sesuai dengan selera kekinian, pemanfaatan teknologi sebagai sarana penjualan.