21 Nov
(Only in Bahasa) Wilayah kawasan hutan kritis di Indonesia saat ini kurang lebih seluas 14 juta hektar, kurang lebih 14 persen dari total luasan seluruh wilayah NKRI sebesar 190 juta. Dirjen PDASHL mengatakan bahwa salah satu penyebab rusaknya kawasan hutan adalah dari maraknya aktivitas penambangan liar.
“Salah satu penyebab lahan kritis ini adalah aktivitas penambangan yang tidak bertanggung jawab. Dengan meninggalkan lubang mengaga bekas tambang dan air asam tambang, serta tanah gundul dan tersedimentasi”, urai Dirjen PDASHL IB Putra Parthama pada pembukaan acara Pembekalan Teknis Reklamasi Hutan & Rehabilitasi DAS bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Bali, September lalu (13/9).
Berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Negara melalui Menteri Kehutanan menetapkan status kawasan hutan menjadi area konservasi, hutan lindung, atau hutan produksi. Sedangkan status kawasan hutan yang diperolehkan untuk diambil manfaat di dalamnya adalah kawasan hutan produksi. Untuk kepentingan tersebut, Perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan industri wajib memiliki IPPKH.
“Hutan merupakan kekayaan alam yang multifungsi. Selain hasil hutan berupa kayu, namun juga terkandung sumber daya alam vital yang dapat dipergunakan bagi negara kita. Dengan adanya UU no.41 ini, maka tidak tertutup kemungkinan dilakukan pembangunan kawasan di luar sektor kehutanan, tetapi dengan pembatasan tertentu agar keseimbangan ekosistem tidak terganggu sebagaimana diamanatkan pada Permen No.38 tahun 2014”, urainya lebih lanjut.
Namun izin ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan apabila diperlukan, dengan beberapa prasyarat kepatuhan yang harus dipenuhi seperti pelunasan kewajiban pokok yaitu pembayaran kewajiban atas hasil hutan di dalam kawasan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), upaya pengembalian kondisi tanah seperti sedia kala (reklamasi), serta pemberdayaan masyarakat di kawasan tersebut.
Dengan diterbitkannya IPPKH oleh Kementrian Kehutanan, maka Perusahaan pemegang IPPKH memilki rentang waktu dua tahun untuk memanfaatkan kawasan hutan. Namun Perusahaan juga memiliki kewajiban untuk melakukan pengembalian fungsi kawasan di wilayah terdampak. Kebijakan lintas sektoral ini merupakan bentuk sinergi antara Kementerian ESDM dan Kehutanan, dalam meminimalisir penggunaan kawasan hutan yang menyebabkan kerusakan. Sejumlah aturan yang pokok yang diberlakukan mensyaratkan tiga hal pokok yaitu reklamasi hutan di dalam kawasan IPPKH, rehabilitasi DAS di luar kawasan IPPKH, serta upaya reboisasinya.
Dalam pelaksanaannya, ternyata terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para pemegang IPPKH. Baik tantangan teknis, dinamika sosio kultur masyarakat setempat, maupun kriteria penetapan keberhasilan reklamasi itu sendiri. Tidak kurang dari 100 Perusahaan yang hadir dalam lokakarya tersebut, termasuk di antaranya PT Tunas Inti Abadi (PT TIA), anak usaha Reswara yang beroperasi di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan mendapat pengetahuan tentang pelaksanaan kewajiban reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS serta reboisasi lahan kompensasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Upaya Rehabilitasi DAS PT Tunas Inti Abadi (TIA)
Dalam forum tersebut, TIA tidak hanya diundang sebagai peserta, namun juga sebagai narasumber. Upaya reklamasi yang dilakukan TIA telah dinyatakan berhasil di sebagian wilayahnya, meski belum keseluruhan wilayah selesai direklamasi. Hal ini berkaitan dengan sekuen penambangan yang masih akan berlangsung hingga 2024.
Mewakili TIA, Kepala Teknik Tambang Hari Sutikno memaparkan model reklamasi yang dilakukan di wilayahnya. Di TIA, reklamasi dilakukan di tiga cakupan wilayah, yaitu areal tambang (pit), sepanjang jalan hauling, serta areal pelabuhan. Selain itu, TIA juga menaati kewajiban sebagai pemegang IPPKH yaitu melakukan rehabilitasi di luar wilayah konsesi.
Luasan yang telah dinyatakan berhasil direhabilitasi oleh TIA diluar konsesi mencapai kurang lebih 2.000 hektar. Jenis tanaman yang digunakan juga bervariasi, mulai dari tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti karet, meranti, dan mahoni, hingga tanaman endemik lokal seperti ulin, gaharu, serta penunjang pemulihan ekosistem yakni cemara laut dan pohon bakau yang ditanam di pesisir pelabuhan PT TIA.
Dalam paparannya, Hari menyorot kiat keberhasilan rehabilitasi DAS yang dilakukan oleh TIA adalah pelibatan masyarakat secara langsung. Dengan memertimbangkan aspek dinamika sosial masyarakat, TIA berupaya untuk membuka kesempatan yang sama di masyarakat.
“Di awal reklamasi, kami pernah menggunakan metode hydroseeding, namun tenaga kerja yang terserap hanya 6 orang. Ketika beralih ke metode konvensional, jumlahnya meningkat menjadi 60 orang untuk merehabilitasi 75 hektar luasan”, contohnya.
Namun demikian, tantangan yang pernah dialaminya juga cukup berkesan. TIA pernah mengalami kehilangan kawasan rehabilitasi seluas 429 hektar sebagai dampak dari aktivitas peluasan pelabuhan sekitar konsesi TIA.
“Kala itu, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan kebijakan peluasan kawasan pelabuhan, termasuk di dalamnya wilayah yang telah kami rehabilitasi sebagai kewajiban pemegang IPPKH”, ujarnya.
Sebagai pengganti, TIA lalu memusatkan area rehabilitasi DAS di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Banjarbaru. Hari mengakui, tidak mudah untuk melakukan penanaman di kawasan ini. Di awal kegiatan, Perusahaan menemui tantangan berupa resistensi dari masyarakat setempat. Masyarakat telah terbiasa mengambil hasil hutan berupa kayu sebagai mata pencaharian, sedangkan upaya rehabilitas DAS mensyaratkan penanaman pohon sebagai upaya pengembalian fungsi kawasan.
TIA lalu membentuk kelompok masyarakat binaan untuk mengorganisir kegiatan penanaman. “Ada yang bagian perbukitan, ada yang bagian pembuatan jalan, penyiapan bibit dan pemupukan, sampai dengan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran kawasan hutan”, urai Hari.
Sebagai penunjang, TIA telah menyiapkan Fasilitas nursery yang dapat dipergunakan tidak hanya oleh masyarakat setempat, namun juga pemegang IPPKH lain yang area rehabilitasinya berdekatan atau berdampingan.
“Ada satu desa di Tahura yang sedang kita bina kelompok masyarakatnya. Kelompok ini mengelola nursery yang berisi bibit tanaman bernilai ekonomis seperti langsat, rambutan, nangka, durian, jengkol, karet, cempedak, dan lain-lain. Kapasitas bibit kami adalah 1 juta, ini untuk memenuhi kebutuhan kami serta membantu rekan-rekan pelaku rehab DAS dalam pengadaan bibit dengan cara bekerjasama dengan kelompok tani binaan yang sudah terbukti keberhasilan bibitnya. Bibit-bibit ini juga sudah tersertifikasi”, kata Hari.
TIA berupaya untuk membuat sebuah konsep ekowisata di kawasan tersebut, sehingga program rehabilitasi ini dapat berkelanjutan. Beberapa fasilitas yang tengah diupayakan TIA antara lain madu hutan, penangkaran merpati, wisata sepeda, serta peternakan kambing dan sapi.
“Ini Raja Ampatnya Kalsel, dari puncak bukit ini kita bisa menikmati pemandangan yang luar biasa. Makan juga tidak susah karena sudah ada kelompok ibu-ibu yang sedang kita bina sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan wisatawan”, urai Hari.
Secara keseluruhan, rehabilitasi DAS di luar kawasan memiliki tantangan tersendiri. Kendala terbesar datang dari pola pikir masyarakatnya. Masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan ini terbiasa dengan pola bekerja yang tidak terkonsep.
“Untuk mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat ini membutuhkan proses yang panjang dengan biaya yang relatif lebih besar daripada menanam mangrove di pesisir, namun berdampak lebih luas ke berbagai lapisan masyarakat”, tutupnya.