15 Jan
(Only in Bahasa) Upaya menuju keberlanjutan terus diupayakan di Grup Reswara. Setelah menyeleggarakan lokakarya pendahuluan di kuartal pertama 2017, Reswara kembali mengadakan lokakarya lanjutan di Jakarta pada 2 Oktober 2017. Pada lokakarya yang pertama, peserta banyak mendapat wawasan baru seputar isu tanggung jawab sosial Perusahaan dari perspektif ISO 26000. Standar ISO 26000 terbilang cukup baru di lingkungan grup ABM, meski telah banyak standar ISO lain yang telah diterapkan hingga ke anak usaha seperti manajemen mutu ISO 9001 hingga ISO 14000 dan OHSAS 18000 yang berfokus pada pengelolaan keselamatan dan lingkungan hidup. ISO 26000 menjadi payung besar dari keseluruhan ISO karena memuat panduan pengelolaan organisasi/ korporasi dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup secara berkesinambungan.
Topik-topik yang berkaitan dengan dinamika sosial ekonomi komunitas dan aktivitas operasional menjadi sentral bahasan di dalam ISO 26000. Topik ini menjadi makin menarik di dalam dunia korporasi karena erat berkaitan dengan stigma aktivitas penambangan merusak lingkungan. Padahal faktanya, industri pertambangan yang kerap berada di remote area dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian daerah. Efek domino dari kehadirian industri tambang di daerah adalah perubahan tingkat
pengetahuan, terciptanya lapangan pekerjaan baru, dan bahkan dapat memengaruhi budaya dan kearifan lokal setempat. Namun sisi negatifnya, pergeseran tatanan ini berpotensi menjadi pemicu kesenjangan di antara pemangku kepentingan.
Dalam konteks ini, perusahaan tambang semestinya dapat berkontribusi. CEO Reswara Irfan Setiaputra menuturkan bahwa Perusahaan tambang memerlukan pengelolaan tambang lebih dari ranah operasional agar menghilangkan disparitas sebagai
dampak operasi sebuah perusahaan tambang.
Beliau menyontohkan pada pengalaman dinamika perusahaan tambang yang beroperasi di daerah, ternyata menciptakan dampak yang lebih buruk ketimbang kondisi sebelumnya. Pertambangan menciptakan tenaga kerja dengan kemampuan khusus yang tidak lagi bisa dipakai ketika tambang tutup atau selesai. Ketika terjadi pergolakan situasi pasar seperti di tahun 2014 – 2015 lalu, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat yang sehari-hari sudah terlanjur terlena oleh kehadiran tambang.
“Saat ini saya ingin mengajak rekan-rekan untuk berpikir beyond duties, melebihi masa kerja kita, untuk memikirkan apa yang fundamental untuk masyarakat ketika tambang itu tutup sebagai bentuk tanggung jawab kita”, urainya.
Beliau berpendapat bahwa pondasi keberlanjutan menjadi esensial tidak hanya untuk Perusahaan, namun juga untuk masyarakat sekitar tambang. Menurutnya, tatanan masyarakat menjadi sentral dari upaya keberlanjutan yang dibangun oleh Perusahaan,
“Apakah masyarakat siap untuk menghadapi tantangan baru ketika tambang sudah tidak lagi beroperasi, implikasi turunannya akan seperti apa, situasi seperti ini yang perlu kita bayangkan nanti,” tuturnya. Lebih lanjut beliau mengajak untuk
mewujudkan konsep keberlanjutan di masyarakat, “kita harus membuat real sustainability, bagaimana kita mendidik warga sekitar sana agar mereka mampu membuat sebuah pergerakan ekonomi yang membuat mereka bisa sustain, dan bukan kita yang
sustain. Sustainability sebaiknya mulai kita fokuskan untuk konsep masyarakat yang seperti apa, terutama setelah kita pergi”.
Lokakarya ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan Reswara untuk membangun keberlanjutan. Lokakarya ini dilaksanakan untuk lebih memfokuskan topik dan prioritas yang relevan untuk Reswara, yang kemudian akan dilanjutkan pada verifikasi lapangan penerapan ISO 26000 di setiap rantai nilai operasional Perusahaan.