24 Agt
Jam menunjukkan pukul sepuluh waktu Kalimantan Selatan. Hamzah, petani tambak Sebamban beranjak turun dari rumah panggungnya. Ia dan keluarganya, bermukim tepat di pinggir sungai Sebamban yang membelah Kabupaten Tanah Bumbu.
Seperti biasa dalam kesehariannya, ia menuju perahu kecil bermotor yang ditambat persis di belakang rumahnya. Dengan kendaraan yang umum disebut klotok inilah, ia selalu beraktifitas sebagai petani tambak.
Hari itu, Selasa, 6 September 2016, aktifitasnya dimulai dengan sedikit berbeda. Dengan menggunakan klotok miliknya, ia mengajak serta 2 orang jurnalis dari media cetak nasional guna melihat kesehariannya. Di bawah terik matahari, Hamzah dan para jurnalis menyusuri Sungai Sebamban ke arah hulu sungai.
Sepanjang perjalanan, tepat di sisi kiri dan kanan sungai, hamparan pohon nipah tersusun rapi layaknya trotoar jalanan. Sepintas, Sungai Sebamban terkesan rimbun dan asri. “Saya jadi ingat film-film buatan Hollywood yang bercerita tentang Kalimantan. Kita seperti peneliti di tengah sungai-sungai Kalimantan. Ini pengalaman menarik,” ungkap Egen dari Majalah Tambang pada penumpang klotok.
Namun kesan rimbun dengan nipah yang lebat di sisi sungai, bukanlah gambaran sebenarnya. Di balik jejeran pohon nipah yang rapi, terhampar tambak-tambak masyarakat yang gersang. Pohon bakau hampir tidak terlihat mewarnai mata. Hanya satu dua bakau yang tersisa di antara tambak-tambak yang terkotak-kotak.
Setelah hampir satu jam klotok sederhana Hamzah menyusur sungai, ia menambatkan klotoknya kayunya di sisi kanan sungai, diantara pepohonan nipah.
“Itu tambak saya, jumlahnya ada beberapa petak,” ujar Hamzah sembari menunjuk hamparan tambak yang sebagian sudah dihiasi bakau yang cukup lebat.
“Dulu tambak saya tidak seperti ini. Tidak ada bakau yang tumbuh di dalam tambak. Semenjak ada PT TIA – sebutan umum bagi PT Tunas Inti Abadi – dengan program rehabilitasi kawasan aliran sungai, saya mulai menanam bakau,” tambah Hamzah.
Program rehab DAS (Daerah Aliran Sungai) TIA sudah dimuali sejak 2012 di sekitar Sungai Sebamban. Sungai ini dipilih, tak lain karena berdampingan dengan Pelabuhan atau Port TIA. Sampai 2016 ini, TIA telah melakukan penanaman seluas 2.117 Hektar yang antara lain berada dikawasan sempadan Mangrove Desa Sebamban Lama dan Sebamban Baru Kecamatan Sungai Loban, Kawasaan Hutan Lindung di Desa Mangkalapi Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu dan pada Kawasan Tanaman Hutan Rakyar (TAHURA) Sultan Adam Madiangin, Desa Tiwingan Lama Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar.
Tidak hanya bakau yang digunakan guna mengembalikan ekosistem sungai. Tanaman lainnya seperti cemara laut, mahoni, angsana, trembesi, karet, kemiri, durian, cempedak, jengkol, meranti dan gaharu juga ikut ditanam.
Hamzah bercerita, setelah dilakukan penanaman bakau di tambaknya, panen udangnya semakin meningkat. Biasanya, tidak ada udang yang dipanen setelah menebar benih puluhan ribu ekor udang. Namun di 2016 ini, usai panen ia bisa mendapatkan ½ ton udang dari 4 petak tambaknya.
“Di awal kami membuka tambak, sekitar 2009, panen udang kami melimpah. Saya pernah memanen sekitar 2 ton udang dari tambak saya. Lambat laun, hasil panen kami semakin berkurang. Bahkan sampai tidak panen sama sekali pun sering. Dulu kami menuding perusahaan tambang seperti TIA-lah yang menyebabkan kami miskin dan gagal panen,” kenang Hamzah dengan santainya di atas gubug jaga di tengah areal tambak.
Sambil menikmati kopi, Hamzah menceritakan sulit sekali bagi petani udang di seputaran sungai Sebamban menerima program TIA meski gratis.
“Bagaimana mungkin kami bisa mendukung program tanam Bakau ini. Dulu, kami membuka tambak dengan menebang seluruh Bakau di area ini. Darah dan keringat mengucur di setiap kami menebang Bakau. Pengorbanan dan upaya yang tak terbayangkan saat kami membuka tambak dengan tangan tanpa alat berat,” tambah Hamzah.
Kini, Hamzah mulai melihat perubahan. Tambak tradisional yang sebelumnya tidak menghasilkan, lambat laun mulai membuahkan hasil. Bakau, ternyata dapat mendukung petani tambak tradisional guna meningkatkan hasil panen. Kembalinya atau terperbaikinya ekosistem, ternyata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Sekarang saya baru sadar. Kami tidak bisa panen karena kami merusak alam. TIA telah menyadarkan kami,” tutupnya.