31 Jul
(Only in Bahasa) Emiten pertambangan batu bara PT ABM Investama Tbk. (ABMM) menargetkan pendapatan senilai US$800 juta pada 2018, naik 15,82% dari realisasi 2017 sebesar US$690,73 juta.
Direktur dan CFO PT ABM Investama Tbk. (ABMM) Adrian Sjamsul mengungkapkan, bisnis batu bara dalam jangka panjang sangat prospektif. Pasalnya, faktor fundamental antara permintaan dan suplai cukup stabil.
Fluktuasi harga memang masih terjadi akibat perubahan kebijakan, terutama dari China. Namun, nilai jual akan kembali tetap kembali bergerak sesuai fundamentalnya.
Pada 2018, perusahaan menargetkan pendapatan hingga US$800 juta. Sekitar 70% pemasukan tersebut masih berasal dari bisnis tambang dan kontraktor batu bara.
"[Target pendatapan 2018] kami bisa dapat US$800 juta. Kalau target laba bersih kami akan improve dari sisi biaya dan operasional," ujarnya di kantor PT ABM Investama Tbk. (ABMM) , Senin (21/5/2018).
Sebelumnya pada 2018 perusahaan membukukan pendapatan senilai US$690,73 juta, meningkat 16,93% year-on-year (yoy). Bisnis tambang batu bara di bawah bendera PT Reswara Minergi Hartama dan kontraktor tambang PT Cipta Kridatama masing-masing berkontribusi 36% dan 34% dari total pendapatan.
Selebihnya, bisnis logistik menyumbang 14%, jasa rekayasa dan manufaktur 9%, dan kelistrikan 7%. Menurut Adrian, dengan sistem bisnis yang terintegrasi, perusahaan dapat mengontrol biaya operasional hingga harian.
Untuk memacu pendapatan, perusahaan akan meningkatkan produksi dan penjualan batu bara pada 2018 menjadi 10 juta ton, naik dari 2017 sebesar 7,94 juta ton. Masing-masing sejumlah 5 juta ton dari tambang di Aceh dan Kalimantan Selatan.
Di Aceh, perusahaan memproduksi batu bara berkalori 3.400 Kcal/kg dengan cadangan sejumlah 250 juta ton. Di Kalimantan Selatan, produk ABMM memiliki kalori 4.200 Kcal/kg dengan cadangan sekitar 20 juta ton.
Adrian menyampaikan, komposisi pasar pada tahun lalu ialah 67% China, Indonesia 21%, dan India 11%. Komposisi ini bisa berubah pada 2018 karena permintaan India meningkat, dan pemerintah menetapkan kebijakan Domestic Market Ogligation (DMO) 25%.
"Kami berkomitmen memenuhi kewajiban DMO. Kesulitannya yang tambang Aceh kalori gak masuk ke PLTU domestik. Distribusinya juga jauh ke dalam negeri. Ini sedang dicarikan solusinya," paparnya.
Dalam penjualan ekspor, perusahaan memasarkan kepada trader. Hal ini bertujuan agar ABMM bertransaksi menggunakan dolar AS, bukan mata uang setempat seperti rupee ataupun renminbi.
Untuk harga, perusahaan memasarkan sesuai indeks Newcastle dalam 2 minggu—4 minggu sebelumnya. Ada juga penjualan yang menggunakan harga spot, tetapi volumenya sangat kecil.
Pada 2018 perusahaan mengalokasikan belanja modal senilai US$25 juta—US$50 juta yang mayoritas untuk perawatan peralatan. Sumber pendanaan berasal dari kas internal dan operasional perusahaan.
Sumber: Bisnis Indonesia